“Islam
adalah rahmatan lil ‘alamin”. Kalimat yang seringkali kita dengar di sekitar
kita sekarang ini. Namun, saat kita bertanya pada muslim lain atau bahkan diri kita
sendiri tentang konsep rahmatan lil’alamin, mungkin bingung untuk menjawab.
Coba lihat sekitar kita, yang ada sekarang Islam seolah agama yang tertindas
atau agama yang radikal. Kasus Palestina, Rohingya, ISIS, menunjukkan bahwa
Islam sekarang di satu sisi lemah dan di sisi lain keras atau kejam. Lalu
bagaimana dengan konsep awal bahwa Islam adalah agama yang toleransi, membawa
kedamaian, jika umatnya saja tidak mencerminkan.
Penulis berpikir
bahwa kejayaan Islam di jaman dahulu seolah kebohongan belaka jika melihat
realitas sekarang. Mulai dari pembelajaran di jenjang formal, seolah
penyampaian yang dilakukan berulang-ulang. Jenjang SD kita belajar tentang
salat dan bacaan, di SMP sama hanya ditambah beberapa variable, misal salat
jenazah. Maka benar sekarang bahwa pada satu waktu seseorang akan menjadi bosan
dan malas untuk belajar Islam karena berpikir, “alah paling juga itu-itu saja”.
Khotbah Jumat, pada jaman Rasullulah saw, tentunya menjadi suatu forum yang
paling ditunggu atau dinantikan, semua orang bersemangat untuk menyimak
informasi penting yang hendak disampaikan oleh Rasullulah, tapi sekarang
Khotbah Jumat seolah menjadi hal yang biasa, tidak istimewa, bahkan mungkin
banyak yang akhirnya tidur.
Perbedaan
pendapat dalam Islam adalah hal wajar. Jaman Rasullulah, segala perbedaan
pendapat diselesaikan dengan jalan musyawarah. Bisa kita lihat pada saat
selesai Perang Badar, Abu Bakar dan Umar bin Khattab bersengketa mengenai
tawanan perang, Abu Bakar berpendapat bahwa tawanan perang harus dibebaskan dan
Umar bin Khattab berpendapat bahwa mereka harus dibunuh. Atau pada saat perang
Khandaq, dimana Salman Al Farisi dari Persia mengemukakan pendapat yang
bertentangan dengan Rasullulah. Saat Rasullulah berpendapat bahwa untuk
melindungi Madinah, maka umat muslim harus membuat benteng yang tinggi, namun
dibantah oleh Salman dengan pendapat bahwa benteng yang harus dibangun adalah
benteng yang menjulang ke bawah, berbentuk parit.Semua itu diselesaikan dengan
jalan musyawarah mengambil keputusan yang palng bisa dipertanggungjawabkan dan
tidak meresahkan umat.
Namun,
justru sekarang bukan itu yang dilakukan, saat sesame umat Islam berbeda
pendapat, yang terjadi sekarang adalah munculnya fitnah yang mengkafirkan,
beranggapan bahwa dirinya yang paling benar dan yang lain salah. Akhirnya
mengakibatkan bahwa umat Islam sekarang bukan hancur karena eksternal, tapi
karena umatnya sendiri. Padahal, dulu saat kasus Aisyah ra dituduh telah
berzina, telah dijelaskan bahwa, kita harus mendatangkan 4 saksi yang bisa dipertanggungjawabkan
baru bisa dianggap bersalah. Ini menegaskan bahwa saat terjadi perbedaan
pendapt kita harus bermusyawarah dahulu, jika memang ingin membuktikan
seseorang bersalah pun harus punya dasar yang jelas.
Bisa kita lihat pada sejarah Aceh jaman
penjajahan. Aceh adalah daerah yang paling sulit dihancurkan oleh penjajah
karena kekuatan Islam yang bersatu. Namun saat Snouck Hurgronje tiba sebagai
seorang muslim yang pulang berhaji. Dia mampu memecah belah kekuatan Islam di
Aceh sehingga Aceh mampu untuk ditaklukkan. Sekarang penjajah tidak akan
menggunakan cara itu. Cara seperti itu sudah ketinggalan jaman. Sekarang yang
terjadi adalah, Islam dihancurkan pemikirannya lewat perkembangan teknologi.
Membuat umat Islam terlena dengan segala kenyamanan yang dimiliki sehingga
tidak sadar akan perubahan nilai-nilai di sekitanyan dan menganggapnya sebagai
hal wajar. Hal seperti inilah yang
terjadi sekarang. Umat Islam terpuruk karena pemikirannya yang sudah nyaman
dengan segala kemajuan yang ada. Saat orang barat telah menemukan berbagai
produk-produk baru, kita umat Islam di Indonesia mungki masih sampai pada tahap
“Bagaimana cara salat yang benar?”.
Coba
sekarang kita reflesikan pada diri kita sendiri, bagaimana peran kita sekarang
sebagai umat Islam. Kita tidak mengalami kesulitan-kesulitan seperti Rasullulah
dan sahabat dahulu. Namun, sekarang kita dihadapkan pada kenyamanan dan kesejahteraan. Suatu hal yang
bisa jadi lebih berat dari kesulitan, karena kita tidak menyadari apa masalah
sedang kita hadapi. Cobalah untuk kembali menengok kebelakang, sejarah tidaklah
menipu. Islam dahulu berjaya dengan memahami masalah-masalah yang ada di
sekitarnya. Para Rasul melihat adanya aspek jahiliyah pada masyarakatnya. Mereka
keluar dari aspek kenyamanan dan melihat, bahkan sampai menyendiri untuk
memperoleh jawaban yang pasti. Sekarang terserah pada kalian, “Apakah tetap
dalam kenyamanan saat ini atau hendak keluar dari zona nyaman kalian ?”
Komentar
Posting Komentar